Tepat pukul 03.00 WIB alarm Handphone berbunyi nyaring memecah mimpi yang menggerumbuli alam pikiran dari tadi. Selimut tebal segera ku angkat dan dingin yang menusuk tulang pun menyeruak kuat. Dari atas kasur aku berjalan pelan ke kamar mandi dan mencuci muka,lalu berwudhu, luar biasa dingin, sungguh tak pernah ku rasakan dingin yang teramat seperti ini. Iya, pagi itu di Dieng, Dataran tinggi yang termasyur akan keindahan alamnya.
Bergegas saya mempersiapkan barang-barang untuk melakukan pendakian "kecil" ke Bukit Sikunir, bukit yang konon dari sana lah fajar terindah di se antero Jawa akan didapatkan, iya, orang-orang memanggilnya Golden Sunrise. Hem.. saya tak sendirian, bersama seorang sahabat saya akan melakukan perjalanan untuk menyaksikan keagungan Allah yang satu ini. Segera kami berangkat menuju Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa. Jalan menuju ke sana tak terlalu mulus, karena malam yang memberikan gelap, mungkin. Tapi juga karena dingin yang luar biasa , meskipun sudah di dobel baju ini, tak berani saya berkendara cepat-cepat, karena angin bisa saja membuat lemah tubuh ini.
Dengan sedikit perjuangan, sampailah kami di titik awal pendakian, pendakian sederhana yang tak terlalu memberatkan pun kami lakukan. Namun, tetap dan masih sama, entah karena apa nafas saya selalu habis dalam perjalanan, sehingga saya sering berhenti hanya untuk mengambil dan mengatur nafas, sungguh saya tak ingin dengan gampang menyerah akan kondisi tubuh saya. Perlahan dan perlahan akhirnya sampailah kami di Puncak Sikunir.
Angin yang kencang menyambut kami, bintang berpendar mencoba tersenyum kepada kami, gemerlap lampu pedesaan yang berasal dari energi panas bumi itu pun tak mau kalah, pun begitu juga dengan bulan pagi itu. Namun, semuanya terkalahkan dengan adzan subuh yang tersayup merdu membisik ke telinga kami. Kami lihat orang-orang sekitar kami, tak banyak yang mendengar dan memperhatikan, malah mereka berteriak-teriak dan terlihat asyik dengan temannya. Hem.. dari bawah, saya sudah mempersiapkan mantel untuk menjadi alas shalat subuh kami di atas bukit, ini, ini yang saya cari.. sembari menahan derasnya angin, sembari menahan peluh menetes karena keagungan Sang Khalik, perlahan saya mencoba untuk melakukan shalat subuh di atas bukit di pagi itu.
Menanti surya perlihatkan sinarnya, kami terus memandangi ufuk di arah timur, perlahan lahan mulai menampakkan sinarnya.. Dan.. woow.. SubhanALLAH, luar biasa indah memang.. Sembari pelan menyaksikannya saya merenung..
Ketika pagi menyapa
Dari ufuk timur, mentari mencoba keluar dari peraduannya
Dari garis orange, merah dan menjadi kuning bulat sempurna
Seolah mentari tak pernah lalai menjalankan amanah dari Nya
Pada pagi itu pula,
Dibangunkan semua nya dari peraduan
Untuk selalu menyambut pagi dengan harapan baru
Pagi akan selalu ada,
Entah bagaimana kau mencoba menghindarinya
Pagi akan selalu ada.
Untuk setiap pagi kau akan merasa
Jika memang kematian akan tetap ada
Untuk setiap pagi kau akan merasa
Bahwa kenyataan akan takdir itu benar adanya
Menghela nafas panjang, sambil menahan peluh kembali menetes. Saya mencoba melepaskan semua beban yang ada, pelan perlahan, angin membawa satu per satu hal itu. Wajar saja, waktu itu saya tengah dalam kekalutan yang maha dahsyat, UAS entah apa yang dikerjakan, Apalagi amanah-amanah yang belum terselesaikan, bahkan hati ini juga tak mau diam. Iya, semuanya berawal dari hati, tentang pemikiran ataupun tentang perkataan.
Perlahan kau harus tetap menatap pagi
Tak peduli seberapa remuk dirimu
Tak peduli seberapa buruk akhlakmu
Allah kan senantiasa ada,
Dan dengan pagi itu , Allah buktikan kuasaNya
Pagi itu, di puncak desa tertinggi di Pulau Jawa, Aku mengenang dan mencoba melepaskannya.. End
Bergegas saya mempersiapkan barang-barang untuk melakukan pendakian "kecil" ke Bukit Sikunir, bukit yang konon dari sana lah fajar terindah di se antero Jawa akan didapatkan, iya, orang-orang memanggilnya Golden Sunrise. Hem.. saya tak sendirian, bersama seorang sahabat saya akan melakukan perjalanan untuk menyaksikan keagungan Allah yang satu ini. Segera kami berangkat menuju Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa. Jalan menuju ke sana tak terlalu mulus, karena malam yang memberikan gelap, mungkin. Tapi juga karena dingin yang luar biasa , meskipun sudah di dobel baju ini, tak berani saya berkendara cepat-cepat, karena angin bisa saja membuat lemah tubuh ini.
Dengan sedikit perjuangan, sampailah kami di titik awal pendakian, pendakian sederhana yang tak terlalu memberatkan pun kami lakukan. Namun, tetap dan masih sama, entah karena apa nafas saya selalu habis dalam perjalanan, sehingga saya sering berhenti hanya untuk mengambil dan mengatur nafas, sungguh saya tak ingin dengan gampang menyerah akan kondisi tubuh saya. Perlahan dan perlahan akhirnya sampailah kami di Puncak Sikunir.
Angin yang kencang menyambut kami, bintang berpendar mencoba tersenyum kepada kami, gemerlap lampu pedesaan yang berasal dari energi panas bumi itu pun tak mau kalah, pun begitu juga dengan bulan pagi itu. Namun, semuanya terkalahkan dengan adzan subuh yang tersayup merdu membisik ke telinga kami. Kami lihat orang-orang sekitar kami, tak banyak yang mendengar dan memperhatikan, malah mereka berteriak-teriak dan terlihat asyik dengan temannya. Hem.. dari bawah, saya sudah mempersiapkan mantel untuk menjadi alas shalat subuh kami di atas bukit, ini, ini yang saya cari.. sembari menahan derasnya angin, sembari menahan peluh menetes karena keagungan Sang Khalik, perlahan saya mencoba untuk melakukan shalat subuh di atas bukit di pagi itu.
Menanti surya perlihatkan sinarnya, kami terus memandangi ufuk di arah timur, perlahan lahan mulai menampakkan sinarnya.. Dan.. woow.. SubhanALLAH, luar biasa indah memang.. Sembari pelan menyaksikannya saya merenung..
Ketika pagi menyapa
Dari ufuk timur, mentari mencoba keluar dari peraduannya
Dari garis orange, merah dan menjadi kuning bulat sempurna
Seolah mentari tak pernah lalai menjalankan amanah dari Nya
Pada pagi itu pula,
Dibangunkan semua nya dari peraduan
Untuk selalu menyambut pagi dengan harapan baru
Pagi akan selalu ada,
Entah bagaimana kau mencoba menghindarinya
Pagi akan selalu ada.
Untuk setiap pagi kau akan merasa
Jika memang kematian akan tetap ada
Untuk setiap pagi kau akan merasa
Bahwa kenyataan akan takdir itu benar adanya
Menghela nafas panjang, sambil menahan peluh kembali menetes. Saya mencoba melepaskan semua beban yang ada, pelan perlahan, angin membawa satu per satu hal itu. Wajar saja, waktu itu saya tengah dalam kekalutan yang maha dahsyat, UAS entah apa yang dikerjakan, Apalagi amanah-amanah yang belum terselesaikan, bahkan hati ini juga tak mau diam. Iya, semuanya berawal dari hati, tentang pemikiran ataupun tentang perkataan.
Perlahan kau harus tetap menatap pagi
Tak peduli seberapa remuk dirimu
Tak peduli seberapa buruk akhlakmu
Allah kan senantiasa ada,
Dan dengan pagi itu , Allah buktikan kuasaNya
Pagi itu, di puncak desa tertinggi di Pulau Jawa, Aku mengenang dan mencoba melepaskannya.. End
Comments
Post a Comment